Sebagai seorang mahasiswa kita dituntut untuk ikut
aktif menjadi subjek dalam tiap kegiatan perkuliahan yang kita jalani. Hal ini yang
menjadi sebuah tanggung jawab bagi kita untuk menjalaninya dengan kesadaran
secara penuh dan inisiatif yang tinggi, agar capaian yang diharapkan bisa
diperoleh secara maksimal. Namun kendalanya adalah menjaga konsistensi semangat
& inisiatif dari diri, terutama ketika memasuki tahun akhir perkuliahan
bahkan bisa jadi semangat di awal tahun perkuliahan luntur dengan segera akibat
kurang bisa beradaptasi dengan perubahan cara pembelajaran.
Mari kita ambil contoh kecil, seorang mahasiswa
yang punya tanggung jawab untuk mempelajari ilmu sesuai jurusan yang ia ambil.
Memang tak diragukan lagi sebagian besar dari mahasiswa memilih jurusan yang ia
ambil berdasarkan minat atau kemampuan yang ia ketahui dari dirinya, namun
mengapa masih ada diantara mereka yang merasa "salah jurusan"? Apakah
karena mereka kurang mampu menyerap materi kuliah seperti ketika sekolah dulu?
atau karena hal lain?
Untuk masalah yang satu ini, solusinya sangat mudah
dan seharusnya kita sudah mampu menjawab sendiri. Ya, belajar dengan serius,
mempelajari materi secara mandiri di luar jam perkuliahan baik itu dengan
membentuk tim belajar bersama beberapa teman ataupun dengan cara lainnya. Sudah
melakukan hal ini tapi masih merasa kurang membantu? perlu cara lain atau
strategi belajar lain?
Bagi kita seorang muslim seharusnya sudah tau
bagaimana mendapatkan solusi atas masalah masalah yang kita hadapi. Ya coba
saja lihat panduan hidup kita yang sangat sempurna itu [Al-Quran], serta Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sudahkah kita pernah mendengar hadits
rasulullah yang diriwayatkan oleh sahabat Umar r.a. :
...'إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى...
“...Sesungguhnya
setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) sesuai dengan niatnya... (HR.
al-Bukhāriy dan Muslim)”
Bisa jadi niatan kita selama ini belum mampu terarah dengan benar
sehingga apa yang kita dapatkan juga belum seperti yang kita harapkan? Bukankah
kita sering mendengar bahwa apabila segala sesuatu dilakukan dengan niat untuk
Ibadah kepada Allah maka tidak hanya kita akan menjalaninya dengan lebih lega,
lebih tenang tapi juga ada “tambahan pemberian” dari Allah?
Kemudian yang selajutnya pernahkah kita ingat dulu ketika kita masih
bersekolah di tingkat dasar hingga SMA, kita diajari oleh guru guru kita untuk BERDOA
bersama sebelum dan sesudah belajar agar apa yang dipelajari mendapat berkah
dan benar-benar menjadi ilmu yang bermanfaat? Disadari atau tidak kebiasaan
mulia ini mungkin sudah terlupakan. Di bangku kuliah, kebiasaan itu
perlahan-lahan mulai luntur karena memang tidak dibiasakan. Memang beberapa
mahasiswa membiasakan untuk berdoa sendiri-sendiri saat kuliah, namun jumlahnya
tidak banyak. Padahal doa merupakan inti dari ibadah. Boleh jadi kita kurang
dapat menyerap ilmu di saat kuliah karena tidak diawali dengan menyebut
nama-Nya. Kita memang lebih sering berdoa saat kita butuh saja, atau saat
terdesak saja. Contoh gampangnya adalah sesaat sebelum UAS, kita pasti berusaha
berdoa agar diberi kemudahan.
“...رَبِّ اشْرَحْ لِيْ
صَدْرِيْ وَيَسِّرْلِيْ أَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ يَفْقَهُوْا
قَوْلِيْ...”
‘...Ya Rabbi, lapangkan untukku dadaku, mudahkan untukku urusanku, lepaskan kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku...” (QS. Toha Ayat;25-28)
DO'A SEBELUM BELAJAR
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا، وَارْزُقْنِيْ فَهْمًا وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Ya Allah Tambahkanlah aku ilmu dan berilah aku karunia untuk dapat memahaminya dan jadikanlah aku termasuk golongannya orang-orang yang shoolih”
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا، وَارْزُقْنِيْ فَهْمًا وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Ya Allah Tambahkanlah aku ilmu dan berilah aku karunia untuk dapat memahaminya dan jadikanlah aku termasuk golongannya orang-orang yang shoolih”
Kemudian setelah USAHA diiringi DOA yang telah disampaikan
diatas kita harus ingat bahwa segala sesuatu itu berada dalam kuasa Allah. Kita
hanya mampu mengusahakan, dan Allah-lah yang akan menentukan. Untuk itu kata
kunci ketiga adalah TAWAKAL. Namun celakanya, tawakal ini sering salah
dimaknai. Ketika kita sudah berusaha *padahal belum juga maksimal* lalu kita
merasa tidak mungkin lagi tercapai, atau kecewa dengan kondisi, lalu kita
pasrah. Contohnya ketika akan menghadapi Ujian Akhir Semester, dengan materi
yang cukup padat selama 1 semester, dan merasa waktu belajar sudah tidak cukup
kemudian kita malah berhanti dan berkata “ah sudahlah, saya pasrah saja.”
Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul
Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49 mengatakan, “Tawakal
adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai
kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat,
menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya
bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan
mendatangkan manfaat kecuali Allah semata‘.” Jadi 'berserah
diri' dengan 'pasrah' itu tidak sama, karena dalam tawakal ada bentuk
peng-iman-an atas kuasa Allah, sementara 'pasrah' melepaskan segalanya.
Cukuplah 3 bekal ini bagi kita agar ketika kita
menjalani perkuliahan bisa memperoleh ilmu sekaligus sebagai sarana ibadah bagi
kita, sehingga kita bisa menjadi orang yang beruntung karena mampu menyiapkan
bekal untuk dunia dan akhirat...
Sumber inspirasi:
Al-Quran Al-Kariim
*tulisan ini dibuat penulis dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah agama islam, tertanggal 26 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar