Oleh: R. Gilang Adhitya P. (Kepala Departemen Kajian Strategis BEM KMFT UGM)
Rencana kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang akan dilaksanakan pada bulan Juli mendatang, merupakan kebijakan yang tidak berpihak terhadap masyarakat. Walaupun bagi pelanggan listrik 450 VA – 900 VA tidak mengalami kenaikan tetapi bagi pelanggan yang lainnya termasuk industri dan pengusaha hal ini akan memberatkan mereka karena tarif yang akan naik berkisar 6% – 20 %. Yang paling dikhawatirkan dari kebijakan ini adalah kenaikan harga hagra barang dan jasa, yang secara langsung maupun tidak langsung terikut kenaikan TDL.
Coba saja pikirkan apabila terjadi kenaikan TDL padahal listrik merupakan salah satu kebutuhan produksi untuk industri industri, maka pastinya akan ada kenaikan dari harga jual produksi. Mungkin besarannya tidak terlalu signifikan, namun bila hasil produksi tersebut digunakan untuk industri atau kegiatan lainnya sebagai bahan baku, dan ini terus berlanjut maka kenaikan harga barang ataupun jasa sudah tidak terbantahkan lagi. Sebagai contoh, Industri manufaktur merupakan salah satu industri yang menggunakan listrik yang cukup besar dalam proses produksinya dibanding industri lain misalnya industri kimia. Namun produk dari industri manufaktur ini misalnya pabrik baja, masih akan digunakan untuk kegiatan industri lain. Ketika ada kenaikan TDL, maka pemilik pabrik baja tersebut akan melakukan upaya upaya guna menutupi kenaikan biaya listriknya, salah satunya dengan menaikkan harga jual. Meskipun tidak besar namun industri lain yang membeli baja darinya akan kembali melakukan upaya untuk menutupi kenaikan harga bahan baku (dalam hal ini baja) dan kenaikan TDL. Imbasnya produk produk yang langsung siap dikonsumsi masyarakat akan mengalami kenaikan harga yang tidak sedikit. Inilah efek domino yang ditakutkan banyak pihak yang menjadi alasan utama mengapa kenaikan TDL ini ditentang oleh banyak pihak.
Jika dikaji lebih dalam sebenarnya pemerintah tidak perlu menaikkan TDL bulan juli mendatang. Salah satu alasan mengapa kenaikan ini perlu dilakukan adalah karena selama ini PLN belum bisa menutupi biaya pokok produksi listrik (BPPL) sebesar 1250 rupiah per KWH yang dihasilkan, padahal harga jual listrik PLN hanya sebesar 650 rupiah per KWH sehingga pemerintah perlu mensubsidi PLN yang besarannya mencapai 55,15 triliun rupiah (APBN-P 2010). Faktor terbesar yang menyebabkan biaya pokok produksi listrik bisa mencapai 1200an rupiah itu adalah karena hampir 35% pembangkit listrik PLN masih menggunakan bahan bakar minyak. Dari sekian banyak bahan bakar yang digunakan PLN yang memakan biaya paling tinggi adalah minyak dikarenakan harga minyak mentah dunia yang terus naik menyebabkan PLN selama ini masih sangat bergantung pada subsidi pemerintah. Padahal untuk bahan bakar yang lain gas misalnya, PLN hanya akan menghabiskan dana sebesar 500 rupiah per KWHnya (dibandingkan dengan minyak, yang per KWHnya menghabiskan 0,25 Liter). Pun juga selama ini pembangkit PLN yang memberikan pasokan listrik paling besar adalah pembangkit berbahan bakar batubara. Lalu muncul pertanyaan, mengapa pembangkit berbahan bakar minyak ini masih banyak digunakan PLN? Mungkin saja dikarenakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Disel (PLTD) lebih mudah dan lebih aman ditempatkan dimana mana, pun juga dalam penyaluran bahan bakar, penyaluran minyak cenderung lebih mudah dibanding gas dan batubara yang resiko terjadi ledakannya lebih besar. Atau mungkin ada kepentingan kepentingan yang bermain dibelakangnya.
Dikarenakan komponen biaya listrik PLN lebih didominasi oleh biaya penyediaan bahan bakar, maka yang perlu dilakukan PLN adalah melakukan konversi minyak sebagai bahan bakar pembangkit listrik PLN ke gas atau batubara yang memiliki efisiensi yang lebih baik. Indonesia sendiri memiliki stok energi alam tersebut, yang seharusnya dimanfaatkan sendiri bukannya malah diekspor. Kebijakan ekspor batu bara dan gas ini juga dirasa tidak tepat. Disaat dari dalam negeri masih kekurangan energi, sumber sumber energi yang dimiliki dan sangat potensial malah dijual ke luar negeri. Pemerintah harus lebih jeli dalam Politik Energi Nasional agar kebutuhan energi dalam negeri dapat terpenuhi.
Lanjut lagi yang perlu dilakukan berikutnya adalah Audit “flow energy” terhadap seluruh pembangkit PLN. Maksudnya tiap tiap pembangkit dilakukan pengecekan apakah sesuai, berapa banyak bahan bakar yang digunakan dengan berapa banyak listrik yang dihasilkan. Karena bisa saja BPPL PLN yang sebesar itu karena penggunaan energi tidak efisien. Jumlah bahan bakar yang masuk dengan output energi yang dihasilkan PLN belum sebanding. Ketika diketahui secara pasti antara input dan output energi, PLN bisa memperhitungkan efisiensi penggunaan energi dengan lebih pasti. Audit ini juga tidak hanya audit efisien tidaknya bahan bakar yang digunakan di pembangkit. Dalam penyaluran listrik PLN ke konsumen juga harus dilakukan. Dalam penyaluran listrik kepada pelanggan kehilangan energi (rugi – rugi jaringan) yang dialami sebesar 9-10%. Padahal di negara negara lain, kerugian yang dialami hanya sekitar 8%. Memang selisihnya tidak jauh, namun dengan melakukan efisiensi di berbagai sektor maka BPPL PLN bisa ditekan seminimal mungkin sehingga harga jual listrik PLN bisa semurah mungkin yang akhirnya tidak perlu ada kenaikan TDL.
Kemudian yang menjadi prioritas dari kenaikan TDL ini adalah peningkatan rasio elektrifikasi dari 65% menjadi 80% pada tahun 2014. Seiring rencana untuk pengoprasian seluruh pembangkit 10.000 MW. PLN berharap dengan kenaikan TDL tersebut dapat meningkatkan pendapatan PLN untuk program yang membutuhkan banyak sekali dana ini. Memang benar kita perlu memperhatikan masyarakat yang selama ini masih belum mendapatkan pasokan listrik dari PLN, dan juga dengan kenaikan ini kita juga bisa “berbagi beban” dengan para pelanggan baru yang sebagian besar merupakan golongan pelanggan dengan daya 450VA-900VA. Dilihat dari sisi positif, kebijakan ini akan memaksa pelanggan yang sudah teraliri listrik oleh PLN untuk lebih berhemat dalam penggunaan energi listrik. Bahkan juga akan memacu mereka untuk mulai mencari energi alternatif sebagai pengganti listrik dari PLN untuk mengurangi ketergantungan dengan PLN. Tapi itu seharusnya juga diimbangi dengan transparansi dan akutanbilitas manajemen PLN sendiri. Yang penting adalah, kenaikan TDL ini harus sepadan dengan pelayanan yang diberikan PLN, jika tidak justru malah akan semakin banyak terjadi penolakan terhadap kebijakan kenaikan TDL ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar